
HUKUM SEPUTAR SUAP DAN HADIAH
Ustadz Armen Halim Naro Lc
"Permasalahan harta, seakan-akan sebuah permasalahan yang tidak
berkesudahan Sebagai seorang muslim yang menghadirkan akhirat ke dalam
kehidupannya, tentu tidak menganggap permasalahan ini sepele atau
terlampau menyempitkan ruang geraknya dalam mencari rizki. Sebab
bagaimanapun juga, kita tetap butuh harta sebagai bekal, dan tetap
waspada terhadap fitnahnya. Bagaimana tidak, pada saat ini kita
menyaksikan, banyak orang tidak peduli lagi dalam mencari rizki,
apakah dari yang halal atau dari yang haram. Hingga muncul penilaian,
bahwa semua kebahagian hidup, keberhasilan, atapun kesuksesan
ditentukan dan diukur dengan harta ".
Pada dasarnya, syariat selalu mendorong naluri manusia untuk berusaha,
hal itu tidak saling bertentangan dan tidak boleh dipertentangkan.
Imam Mawardi rahimahullah mengelompokkan bidang usaha manusia kepada
tiga bidang pokok : pertanian, perdagangan, dan industri.[1]. Dewasa
ini, sebagian ulama memasukkan bidang 'kepegawaian' menjadi salah satu
bidang usaha yang sangat berharga bagi kebanyakan manusia, disamping
tiga pokok usaha yang telah disebutkan Imam Mawardi rahimahullah
tersebut.
Mencari rizki dengan menjadi pegawai negeri maupun swasta adalah
sesuatu yang halal. Akan tetapi, fenomena yang kita saat ini, tidak
jarang seorang pegawai menghadapi hal-hal yang haram atau makruh dalam
pekerjaannya tersebut. Di antaranya, disebabkan munculnya suap, sogok
menyogok atau pemberian uang diluar gaji yang tidak halal mereka
terima. Bagaimana tinjauan syariat dalam masalah ini ? :
DEFINISI SUAP, HADIAH DAN BONUS
Banyak sebutan untuk pemberian sesuatu kepada petugas atau pegawai
diluar gajinya, seperti suap, hadiah, bonus, fee dan sebagainya.
Sebagian ulama menyebutkan empat pemasukan seorang pegawai, yaitu
gaji, uang suap, hadiah dan bonus.[2]
Suap, disebut juga dengan sogok atau memberi uang pelicin. Adapun
dalam bahasa syariat disebut dengan risywah. Secara istilah disebut
"memberi uang dan sebagainya kepada petugas (pegawai), dengan harapan
mendapatkan kemudahan dalam suatu urusan". [3]
Hadiah diambil dari kata bahasa Arab, dan definisinya, pemberian
seseorang yang sah memberi pada masa hidupnya, secara kontan tanpa ada
syarat dan balasan".[4]
Adapun bonus, ia memiliki definisi, yang mendekati makna hadiah, yaitu
upah diluar gaji resmi (sebagai tambahan). [5]
DALIL TENTANG SUAP DAN HADIAH
Suap, hukunya sangat jelas diharamkan oleh Al-Qur'an dan Sunnah serta
Ijma, baik bagi yang memberi maupun yang menerima.
Di dalam Al-Qur'an, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Artinya : Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian lain
di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa
(urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian
daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa,
padahal kamu mengetahui" [Al-Baqarah : 188]
Dalam ,menafsirkan ayat di atas, al Haitsami rahimahullah berkata :
"Janganlah kalian ulurkan kepada hakim pemberian kalian, yaitu dengan
cara mengambil muka dan menyuap mereka, dengan harapan mereka akan
memberikan hak orang lain kepada kalian, sedangkan kalian mngetahui
hal itu tidak halal bagi kalian".[6]
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat
kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan. Mereka
itulah orang-orang yang dilaknati Allah don ditulikanNya telinga
mereka dan dibutakanNya penglihatan mereka" [Muhammad : 22-23]
Abul 'Aliyah rahimahullah berkata, "Membuat kerusakan di permukaan
bumi dengan suap dan sogok."[7]. Dalam mensifati orang-orang Yahudi,
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Artinya : Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita
bohong, banyak
memakan yang haram" [Al-Maidah : 42]
Tentang ayat ini, Hasan dan Said bin Jubair rahimahullah menyebutkan
di dalam tafsirnya, bahwa yang dimaksud adalah pemakan uang suap, dan
beliau berkata: "Jika seorang Qodi (hakim) menerima suap, tentu akan
membawanya kepada kekufuran".[8]
Sedangkan dari Sunnah.
Dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhu , ia berkata : "Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam melaknat yang memberi suap dan yang
menerima suap".[HR At-Tirmidzi, 1/250; Ibnu Majah, 2313 dan Hakim,
4/102-103; dan Ahmad 2/164,190. Syaikh Al-Albani berkata,"Shahih."
Lihat Irwa' Ghalil 8/244]
Dalam riwayat Tsauban, terdapat tambahan hadits: "Arroisy" (...dan
perantara transaksi suap)". [HR Ahmad, 5/279 dalam sanadnya ada Laits
bin Abi Salim, hafalannya bercampur, dan Syaikhnya, Abul Khattab
majhul]
Hadits ini menunjukkan, bahwa suap termasuk dosa besar, karena
ancamannya adalah Laknat. Yaitu terjauhkan dari rahmat Allah. Al
Haitsami rahimahullah memasukkan suap kepada dosa besar yang ke-32.
Sedangkan menurut Ijma', telah tenjadi kesepakatan umat tentang
haramnya suap secara global, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qudamah,
[9] Ibnul Atsir, [10] Shan'ani rahimahullah. [11]
Adapun hadiah, Ia merupakan pemberian yang dianjurkan oleh syariat,
sekalipun pemberian itu -menurut pandangan yang memberi- sesuatu yang
remeh.
Disebutkan dalam hadits, dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda : "Wahai, wanita
muslimah. Janganlah kalian menganggap remeh pemberian seorang tetangga
kepada tetangganya, sekalipun ujung kaki kambing". [HR Bukhari, no.
2566. Lihat Fathul Bari, 5/198]
Juga dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dan Nabi Shallallahu alaihi
wa sallam bersabda: "Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian
saling mencinta". [HR Bukhari dalam Adabul Mufrad, no. 594. Ibnu Hajar
berkata,"Sanadnya shahih"]
Tentang anjuran saling memberi hadiah, di kalangan ulama telah terjadi
Ijma', karena Ia memberikan pengaruh yang positif di masyarakat; baik
bagi yang memberi maupun yang menerima. Bagi yang memberi, itu sebagai
cara melepaskan diri dari sifat bakhil, sarana untuk saling
menghormati dan sebagainya. Sedangkan kepada yang diberi, sebagai
salah satu bentuk memberi kelapangan terhadapnya, hilangnya
kecemburuan dan kecurigaan, bahkan mendatangkan rasa cinta dan
persatuan dengan sesama.
PERBEDAAN ANTARA SUAP DENGAN HADIAH
Seorang muslim yang mengetahui perbedaan ini, maka ia akan dapat
membedakan jalan yang hendak Ia tempuh, halal ataukah haram. Perbedaan
tersebut, di antaranya :
1). Suap adalah, pemberian yang diharamkan syariat, dan ia termasuk
pemasukan yang haram dan kotor. Sedangkan hadiah merupakan pemberian
yang dianjurkan syariat, dan ia termasuk pemasukan yang halal bagi
seorang muslim.
2). Suap, ketika memberinya tentu dengan syarat yang tidak sesuai
dengan syariat, baik syarat tersebut disampaikan secara langsung
maupun secara tidak langsung. Sedangkan hadiah, pemberiannya tidak
bersyarat.
3). Suap, diberikan untuk mencari muka dan mempermudah dalam hal yang
batil. Sedangkan hadiah, ia diberikan dengan maksud untuk silaturrahim
dan kasih-sayang, seperti kepada kerabat, tetangga atau teman, atau
pemberian untuk membalas budi.[12]
4). Suap, pemberiannya dilakukan secara sembunyi, dibangun berdasarkan
saling tuntut- menuntut, biasanya diberikan dengan berat hati.
Sedangkan hadiah, pemberian terang-terangan atas dasar sifat
kedermawanan.
5). Suap -biasanya- diberikan sebelum pekerjaan, sedangkan hadiah
diberikan setelahnya. [13]
HUKUM PEMBERIAN KEPADA PEGAWAI
Pada dasarnya, pemberian seseorang kepada saudaranya muslim merupakan
perbuatan terpuji dan dianjurkan oleh syariat. Hanya, permasalahannya
menjadi berbeda, jika pemberian tersebut untuk tujuan duniawi, tidak
ikhlas mengharapkan ridha Allah semata.Tujuan duniawi yang dimaksud,
juga berbeda-beda hukumnya sesuai dengan seberapa jauh dampak dan
kerusakan yang ditimbulkan dari pemberian tersebut.
Terdapat riwayat yang sangat menarik untuk menggambarkan penmasalahan
ini. Dan Abu Hamid as Sa'idi Radhiyallahu 'anhu, ia berkata :
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengangkat salah seorang dari
suku Azad sebagai petugas yang mengambil zakat Bani Sulaim. Orang
memanggilnya dengan 'Ibnul Lutbiah. Ketika datang, Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam mengaudit hasil zakat yang
dikumpulkannya.
Ia (orang tersebut, Red) berkata,"Ini harta kalian, dan ini hadiah,"
Kemudian Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam berkata kepadanya:
"Kalau engkau benar, mengapa engkau tidak duduk saja di rumah ayah
atau ibumu, sampai hadiah itu mendatangimu?"
Lalu beliau berkhutbah, memanjatkan pujian kepada Allah azza wa jalla
, Lalu beliau bersabda : "Aku telah tugaskan seseorang dari kalian
sebuah pekerjaan yang Allah azza wa Jalla telah pertanggungjawakan
kepadaku, Lalu ia datang dan berkata "yang ini harta kalian, sedangkan
yang ini hadiah untukku". Jika dia benar, mengapa ia tidak duduk saja
di rumah ayah atau ibunya, kalau benar hadiah itu mendatanginya. Demi
Allah , tidak boleh salah seorang kalian mengambilnya tanpa hak,
kecuali dia bertemu dengan Allah dengan membawa unta yang bersuara,
atau sapi yang melenguh, atau kambing yang mengembik," lalu beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya hingga nampak
ketiaknya, dan berkata: "Ya Allah, telah aku sampaikan," (rawi
berkata),"Aku Lihat langsung dengan kedua mataku, dan aku dengar
dengan kedua telingaku." [HR Bukhari, 6979 dan Mustim, 1832]
Karena seringnya orang mempermainkan istilah syariat, sehingga sesuatu
yang haram dianggapnya bisa menjadi halal. Begitu pula dengan suap.
Di-istilahkan dengan bonus atau fee dan sebagainya. Maka, yang
terpenting bagi seorang muslim adalah. harus mengetahui bentuk
pemberian tersebut dan hukum syariat tentang permasalahan itu.
Dalam Pemberian Sesuatu Kepada Pegawai. Terbagi Dalam Tiga Bagian.
Pertama : Pemberian Yang Diharamkan Memberi. Maupun Mengambilnya.[14]
Kaidahnya, pemberian tersebut bentujuan untuk sesuatu yang batil,
ataukah pemberian atas sebuah tugas yang memang wajib dilakukan oleh
seorang pegawai.
Misalnya pemberian kepada pegawai setelah ia menjabat atau diangkat
menjadi pegawai pada sebuah instansi. Dengan tujuan mengambil hatinya
tanpa hak, baik untuk kepentingan sekarang maupun untuk masa akan
datang, yaitu dengan menutup mata terhadap syarat yang ada untuknya,
dan atau memalsukan data, atau mengambil hak orang Lain, atau
mendahulukan pelayanan kepadanya daripada orang yang lebih berhak,
atau memenangkan perkaranya, dan sebagainya.
Diantara permisalan yang juga tepat dalam permasalahan ini adalah,
pemberian yang diberikan oleh perusahaan atau toko kepada pegawainya,
agar pegawainya tersebut merubah data yang seharusnya, atau merubah
masa berlaku barang, atau mengganti nama perusahaan yang memproduksi,
dan sebagainya.
Kedua : Pemberian Yang Terlarang Mengambilnya, Dan Diberi Keringanan
Dalam Memberikannya.
Kaidahnya, pemberian yang dilakukan secara terpaksa, karena apa yang
menjadi haknya tidak dikerjakan, atau disengaja diperlambat oleh
pegawai bersangkutan yang seharusnya memberikan pelayanan.
Sebagai misal, pemberian seseorang kepada pegawai atau pejabat, yang
ia lakukan karena untuk mengambil kembali haknya, atau untuk menolak
kezhaliman terhadap dirinya. Apalagi Ia melihat, jika sang pegawai
tersebut tidak diberi sesuatu (uang, misalnya), maka ia akan
melalaikan, atau memperlambat prosesnya, atau ia memperlihatkan wajah
cemberut dan masam. [15]
Syaikhul Islam Ibnu TaImiyyah rahimahullah berkata : Jika seseorang
memberi hadiah (dengan maksud) untuk menghentikan sebuah kezhaLiman
atau menagih haknya yang wajib, maka hadiah ini haram bagi yang
mengambil, dan boleh bagi yang memberi. Sebagaimana Nabi Shallallahu
alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya aku seringkali memberi
pemberian kepada seseorang, lalu ia keluar menyandang api (neraka),"
ditanyakan kepada beliau,"Ya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam. Mengapa engkau memberi juga kepada mereka?" Beliau menjawab,
"Mereka tidak kecuali meminta kepadaku, dan Allah tidak menginginkanku
bakhil." [16]
Ketiga : Pemberian Yang Diperbolehkan, Bahkan Dianjurkan Memberi Dan
Mengambilnya.
Kaidahnya, suatu pemberian dengan tujuan mengharapkan ridha Allah
Subhanahu wa Ta'ala untuk memperkuat tali silaturahim atau menjalin
ukhuwah Islamiah, dan bukan bertujuan memperoleh keuntungan duniawi.
Di bawah ini ada beberapa permasalahan, yang hukumnya masuk dalam
bagian ini, sekalipun yang afdhal bagi pegawai, tidak menerima hadiah
tersebut, sebagai upaya untuk menjauhkan diri dari tuduhan dan sadduz
zari'ah (penghalang) baginya dari pemberian yang haram.
1). Hadiah seseorang yang tidak mempunyai kaitan dengan pekerjaan
(usahanya). Sebelum orang tersebut menjabat, ia sudah sering juga
memberi hadiah, karena hubungan kerabat atau yang lainnya. Dan
pemberian itu tetap tidak bentambah, meskipun yang ia beri sekarang
sedang menjabat.
2). Hadiah orang yang tidak biasa memberi hadiah kepada seorang
pegawai yang tidak berlaku persaksiannya, seperti Qodi bersaksi untuk
anaknya, dan hadiah tersebut tidak ada hubungannya dengan usahanya.
3). Hadiah yang telah mendapat izin dan oleh pemerintahannya atau instansinya.
4). Hadiah atasan kepada bawahannya.
5). Hadiah setelah ia meninggalkan jabatannya, dan yang lain-lain.
Demikian penmasalahan hadiah, yang ternyata cukup pelik kita hadapi.
Apalah lagi dengan perbuatan ghulul?
Ghulul adalah mencuri secara diam-diam. Perbuatan ini, tentu lebih
tidak boleh dilakukan. Dalam sebuah hadits disebutkan :
Dari 'Adi bin Amirah Radhiyallahu anhu , ia berkata: Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda : "Barangsiapa yang kami
tunjuk untuk sebuah pekerjaan, Lalu ia menyembunyikan sebuah jarum
atau lebih, berarti Ia telah berbuat ghulul mencuri secara diam-diam)
yang harus ia bawa nanti pada hari kiamat".
Dia ('Adi) berkata : Tiba-tiba seorang laki-laki Anshar berkulit
hitam, ia tegak bendiri seakan-akan aku melihatnya, lalu ia berkata:
"Ya, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, tawarkan pekerjaan
kepadaku," beliau bersabda, "Apa gerangan?" Dia berkata, "Aku
mendengar engkau baru saja berkata begini dan begini," Lalu beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam, bersabda, "Saya tegaskan kembali.
Barangsiapa yang kami tunjuk untuk mengerjakan sesuatu, maka hendaklah
ia membawa semuanya, yang kecil maupun yang besar. Apa yang diberikan
kepadanya, ia ambil. Dan apa yang dilarang mengambilnya, ia tidak
mengambilnya."[HR Muslim, no. 1833]
SOLUSI SUAP DAN HADIAH YANG HARAM
Permasalahan suap dan "pemberian hadiah" yang membudaya di masyarakat
ini, dikenal di tengah masyarakat seiring dan berkelindan dengan KKN
(Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Perbuatan ini merupakan penyakit yang
sudah sangat akut. Penyebab utamanya adalah kebodohan terhadap syariat
Islam yang hanif ini, sehingga banyak perintah yang ditinggalkan, dan
ironisnya banyak larangan yang dikerjakan.
Rizki yang didapatkan tidak halal, ia tidak akan mampu mendatangkan
kebahagiaan. Ketika satu kemaksiatan dilakukan, itu berarti menanam
dan menebarkan kemaksiatan Lainnya. Dia akan menggeser peran hukum,
sehingga peraturan syariat tidak lagi mudah dipraktekkan. Padahal
untuk mendapatkan kebahagian, Islam haruslah dijalankan secara kafah
(menyeluruh).
Secara singkat, solusi memberantas suap maupun penyakit sejenisnya,
terbagi dalam dua hal.
Pertama : Solusi Untuk Individu Dan Masyarakat.
1). Setiap individu muslim hendaklah memperkuat ketakwaannya kepada
Allah Subhanahu wa Ta'ala. Takwa merupakan wasiat Allah Subhanahu wa
Ta'ala untuk umat yang terdahulu dan yang kemudian. Dengan takwa ia
mengetahui perintahNya lalu melaksanakannya, dan mengetahui
laranganNya lalu menjauhinya.
2). Berusaha menanamkan pada setiap diri sifat amanah, dan
menghadirkan ke dalam hati besarnya dosa yang akan ditanggung oleh
orang yang tidak menunaikan amanah. Dalam hat ini, peran agama
memiliki pengaruh sangat besar, yaitu dengan penanaman akhlak yang
mulia.
3). Setiap individu selalu belajar memahami rizki dengan benar. Bahwa
membahagiakan diri dengan harta bukanlah dengan cara yang diharamkan
Allah Subhanahu wa Ta'ala, akan tetapi dengan mencari rizki yang halal
dan hidup dengan qana'ah, sehingga Allah Subhanahu wa Ta'ala akan
memberi berkah pada hartanya, dan Ia dapat berbahagia dengan harta
tersebut.
4). Menghadirkan ke dalam hati, bahwa di balik penghidupan ini ada
kehidupan yang kekal, dan setiap orang akan diminta
pertanggungjawabannya di hadapan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Semua
perbuatan manusia akan ditanya oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala tentang
hartanya, dari mana engkau mendapatkannya, dan kemana engkau habiskan?
Jika seseorang selamat pada pertanyaan pertama, belum tentu ia selamat
pada pertanyaan berikutnya.
Kedua : Solusi Untuk Ulil Amri (Pemerintah).
1). Jika ingin membersihkan penyakit masyarakat ini, hendakah memulai
dari mereka sendiri. Pepatah Arab mengatakan, rakyat mengikuti agama
rajanya. Jika rajanya baik, maka masyarakat akan mengikutinya, dan
sebaliknya.
2). Bekerjasama dengan para da'i untuk menghidupkan ruh tauhid dan
keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Jika tauhid telah lurus dan
iman telah benar, maka, semuanya akan berjalan sesuai yang diinginkan
oleh setiap diri seorang muslim.
3). Jika mengangkat seorang pejabat atau pegawai, hendaklah mengacu
kepada dua syarat, yaitu keahlian, dan amanah. Jika kurang salh satu
dari dua syarat tersebut, tak mustahil terjadi kerusakan. Kemudian,
memberi hukuman sesuai dengan syariat bagi yang melanggarnya.
4). Semua pejabat pemerintah seharusnya mencari penasihat dan bithanah
(orang dekat) yang shalih, yang menganjurkannya untuk berbuat baik,
dan mencegahnya dari berbuat buruk. Seiring dengan itu, Ia juga
menjauhi bithanah yang thalih.
Demikian yang dapat dikemukakan dalam permasatalan ini Semoga Allah
Subhanahu wa Ta'ala memberi kekuatan kepada kaum Muslimin untuk
menegakkan agamanya pada kehidupan ini, sehingga dapat meraih
kebahagiaan di dunia dan akhirat. Wallahu a'lam bish showab.
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun X/1427H/2006M.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl.
Solo-Puwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183]
_________
Foot Note.
[1]. Al Hawil Kabir, 19/180.
[2]. Lihat Subulussalam, Shan'ani, 1/216.
[3]. Kamus Besar Bahasa Indenesia, hlm. 720, dan semakna dengan
defimsi para ulama. Lihat juga Mukhtarush Shihah, hlm. 244 dan Qamus
Muhith, 4/336.
[4]. Aqrabul Masalik, 5/341,342.
[5]. Kamus Besar Bahasa Indenesia, hlm. 154.
[6]. Az Zawajir, Haitsami 1/131, senada dengan yang ditafsirkan al
Baghawi, Syarhussunnah, 10/88.
[7]. Ahkamul Qur'an, al Qurthubi, 16/208.
[8]. Al Mughni, 11/437.
[9]. Ibid.
[10]. An Nihayah, 2/226.
[11]. Subulussalam, 1/216.
[12]. Ar-Ruh, Ibnul Qayyim, 1/240.
[13]. Lihat pembahasan ini di kitab Hadaya Lil Muwazhzhafin, Dr. al
Hasyim, hal 27-29.
[14]. Ibid, hlm. 35-79.
[15]. Bahkan di banyak kejadian, pemberian seperti itu sudah merupakan
hal wajib, sampai-sampai mereka tidak sungkan dan tidak lagi tahu malu
dengan menghardik orang yang tidak memberikan uang kepadanya.
[16]. Majmu' Fatawa, 31/286. Lihat pula pembahasan ini di Fathul Qadir
7/255, Mawahibul Jalil 6/121, al Hawil Kabir, 16/283; Nailul Author,
10/259-261.